Bukan Diriku


I –

Sore itu kau demam terlalu tinggi. Matamu masih saja terpejam melihatku duduk disampingmu. Jari jarimu terasa lemas. Suhu tubuhmu lewati batas. Wajahmu terlihat pucat. Bermacam-macam obat tergeletak dimeja dekat ranjang tidurmu. Hampir seminggu kau tergeletak lemas, sejak demam menyerangmu. Sore itu, akhirnya aku memutuskan untuk bermalam ditempatmu. Aku memutuskan untuk bermalam ditempatmu hingga kau membaik.

Di hari ke 9, aku mulai melihat senyum kecil muncul dari wajahmu. Syukurlah, kini kau sudah agak membaik. Senyum kecilmu mengisyaratkan bahwa kesembuhan sedang berusaha memeluk dan mendekapmu. Aku merasa lebih tenang. Kekhawatiranku perlahan memudar.

Aku merasakan senyum yang semakin hari semakin mengembang dari wajahmu. Senyum tanpa suara yang selalu mendamaikan suasana. Lengkung bibirmu yang penuh bahagia. Ketenangan dan kedamaian seolah terpancar dari raut wajahmu. Aku merasakannya. Apa yang sedang kau rasakan, kini juga tengah aku rasakan.

II –

Beberapa minggu setelah itu, kau kembali pada aktivitasmu. Kini kau menjadi semakin sibuk dengan kampus barumu. Aku juga demikian. Semakin sibuk dengan tugas-tugas kuliahku. Hingga belakangan ini kita jadi tak punya banyak waktu untuk bertemu.

Mungkin aku egois. Entah kenapa aku jadi ingin selalu mendapat perhatian darimu. Seperti awal kita bertemu. Kau begitu perhatian padaku. Dan aku juga perhatian padamu. Tapi aku sadar, mungkin kau memang harus menyesuaikan diri dan beradaptasi dengan kampus barumu lebih lama lagi.

Akhir-akhir ini entah kenapa percakapan kita semakin jarang. Rindu kita semakin lengang. Perhatian-perhatian kecil itu perlahan hilang. Ah, mungkinkah kau merasa bimbang?

Semakin hari, aku justru semakin menaruh curiga padamu. Apakah ada orang lain selain aku dihatimu? Ah, aku tak tau. Seharusnya aku tak securiga itu padamu. Aku hanya manusia yang tak pernah luput dari rasa curiga dan dosa.

III –

Aku tak tau apa yang terjadi denganmu akhir-akhir ini. Aku tak tau pasti. Kau jadi jarang mengangkat telfon dariku. Kau tak sering membalas pesan singkatku. Disela-sela kesibukan kita, entah kenapa beberapa hari ini, ada perempuan lain yang entah kenapa seolah-olah bisa menggantikan posisimu. Perhatian-perhatian kecilnya, lengkung senyum bibirnya, entah kenapa membuat hatiku berbunga.

Beberapa kali aku dan perempuan itu menghabiskan malam bersama tanpa sepengetahuanmu. Makan malam bersama. Menikmati Festival dijalanan kota. Merayakan bahagia. Ah, iya, memang benar. Dibelakangmu, hatiku perlahan luluh oleh perempuan itu.

Aku yang dulu ingin selalu berusaha setia denganmu, entah kenapa kini aku merasa jatuh hati dan berbunga-bunga pada pada perempuan itu.

IV –

Salah satu alasan yang selalu aku sampaikan padamu supaya kau tak terlalu curiga padaku adalah aku sibuk dengan tugas-tugas kuliahku. Itu adalah salah satu alasan klasik yang sudah banyak digunakan. Aku sadar, cepat atau lambat, ini semua akan terbongkar.

Siang itu, entah kenapa tiba-tiba kau berada didepan pintu kelasku. Aku tersentak. Kau tersenyum kecil kearahku. Menarik tangan kiriku, lalu menjauhi ruangan kuliah itu. Kau membawaku ke kantin kesukaanmu. Kantin langgananmu. Tak jauh dari gedung kuliahku. Kau merebut gadget kecil berukuran 7 inci dari tanganku saat aku berusaha melepaskan kartu memori dari gadget itu.

Tak aku sangka, akan secepat ini kau berhasil membongkar semuanya. Kau berhasil menemukan kartu thrufku. Kau menemukan fotoku dan foto perempuan itu. Aku tak bisa menjawab apa-apa. Betapa marahnya kau padaku saat itu. Kesalmu tak tertahankan. Kau melempariku cacian dan makian. Bertubi-tubi. Tak terhenti. Kau luapkan semua kemarahanmu padaku. Kau hempaskan Gadget kecil berukuran 7 inci dilantai kantin langgananmu. Seluruh mata tertuju padaku. Seolah mereka juga ikut menghakimi dan memakiku. Ah...

Inilah resiko yang harus aku terima. Dengan lapang dada.

V –

Sejak saat itu, kita tak pernah lagi bertemu. Kau selalu berusaha menghindar. Aku tak tau lagi harus berbuat apa. Seminggu berlalu. Tak ada kabar tentangmu. Kebaikan-kebaikan kecilmu tak pernah lagi menemaniku. Dua minggu berlalu. Tiga minggu berlalu. Hal-hal terbaik yang dulu pernah ada, kini hilang ditelan waktu.

Beberapa kali aku berusaha memohon maaf padamu. Memintamu untuk kembali dan tetap bersamaku. Tapi kau tak pernah menoleh kearahku. Aku tau, hatimu sangat sakit. Bahkan mungkin sangat-sangat sakit. Aku yang kau percaya bisa menjaga dan merawat perasaanmu, kini justru menghancurkan dan mengecewakanmu.

VI –

Adakah cara supaya kita bisa bersama lagi? Adakah mesin waktu ajaib yang bisa ku gunakan untuk kembali ke masalalu? Adakah sihir yang bisa menghapus beberapa episode yang menyakitkan dari pikiran?

Setiap hari, setiap waktu, setiap aku mengingatmu, aku merasa kenangan-kenangan tentangmu selalu saja berusaha menerkamku. Menghantam dan menghajarku – menyulutkan api kegalauan terhebat yang tak mudah ku padamkan.

Entah kenapa, kini sang waktu seolah juga tak berpihak lagi padaku. Waktu berjalan melambat. Mungkinkah ada yang salah dengan sang waktu? Ingatan-ingatan tentangmu secara tak beraturan, serentak memenuhi otak dan pikiran. Ah...

Rasa bersalah yang dalam tengah berusaha menghentikan laju dan gerakku.

VII –

“Kenapa harus ada rindu?” Tanyamu waktu itu. Menatapku. Sambil membetulkan rambut depanmu yang agak berantakan.

“Supaya setiap manusia bisa saling merindu – menenggelamkan jarak dan waktu yang terkadang sangat mengganggu.” Jawabku. Ada senyum kecil dari bibirmu.

“Lalu, kenapa harus ada rindu kalau terkadang ia hanya bisa dipendam?” Tanyamu lagi.

“Setiap manusia berhak rindu tanpa harus dipendam. Rasa rindu ada sebagai pijakan untuk mendapat kebahagiaan, kan? Kalau rindu, sampaikan. Jangan hanya dipendam. Rindu bukan harta karun berharga yang jika lama dipendam akan semakin bernilai. Bukan. Semakin dipendam, ia hanya akan semakin menyakitkan. Rindu tak seperti pepohonan yang jika ditanam dan dipendam akan tumbuh dan berkembang. Ia tidak seperti itu. Semakin kau memendam, semakin besar pula peluang untuk kehilangan.”

“Ahh, bohong...” Elakmu. Lagi lagi senyum itu. Senyum unik yang amat cantik dan menarik. Aku suka itu.

Seketika itu aku berusaha menyandarkan kepalamu pada bahuku. Dengan tangan kananku, aku berusaha mendekap erat kepalamu. “Yaudah kalau ga percaya.” Kataku. Lalu, aku berusaha mencium keningmu perlahan.

“Iya. Iya. Aku percaya kok.” Katamu. Dalam dekapku.

*

Kau ingat percakapan kita waktu itu? Sejujurnya, kini aku sangat rindu padamu. Aku tak ingin kehilangan sosok sepertimu.

VIII –

Peluk hangatmu kini tak lagi untukku. Senyum manismu bahkan telah membenciku. Entah kenapa, kini aku merasa telah benar-benar kehilanganmu.

Disatu sisi, perlahan-lahan aku merasakannya. Seiring berjalannya waktu, lukamu semakin lama semakin memudar. Dukamu kini tak lagi terasa, tergantikan oleh bahagia.

Mungkin kau telah menemukan seseorang yang sanggup membuat senyum dibibirmu kembali mewarnai bumi. Wajah ceria dan bahagia pelan-pelan melenyapkan sedihmu. Rasa sakit yang aku sebabkan perlahan hilang.
Hingga disuatu ketika aku berhasil menyusun teka-teki penyebab kebahagiaanmu itu: aku mengetahui bahwa ternyata laki-laki itu kini telah menjadi kekasihmu.

IX –

Setiap malam aku selalu meminta pada Tuhan supaya seluruh ingatan tentangmu dihapuskan. Tapi, hingga sekarang, Tuhan belum mengabulkan.

Mungkin memang benar. Segalanya memang tak akan bisa dihapus begitu saja. Setiap peristiwa akan selalu membekas. Entah bahagia, suka, luka, maupun duka. Dan pada masanya kelak; peristiwa-peristiwa itu akan hilang dengan sendiri. Tanpa harus dipaksa, ia akan hilang secara perlahan.

Aku bersyukur punya kenangan indah bersamamu. Aku bersyukur pernah punya seorang perempuan yang begitu penyayang sepertimu. Aku bersyukur pernah menjadi seorang yang sempat diperbolehkan menjaga dan merawat hatimu. Aku juga bersyukur karena kau telah sempat hadir dalam hidupku – menjadi bagian dari perjalanan hidup dan doaku.

Akulah penyebab semua ini. Akulah yang telah membuat hubungan ini tak lagi utuh. Retak. Remuk. Pecah. Akulah laki-laki yang begitu egois telah menenggelamkan sebuah kepercayaan yang telah kau berikan.

X –

Setelah kupahami aku bukan yang terbaik
Yang ada di hatimu
Tak dapat kusangsikan
Ternyata dirinyalah yang mengerti kamu
Bukanlah diriku

Kini maafkanlah aku
Bila aku menjadi bisu kepada dirimu
Bukan santunku terbungkam
Hanya hatiku berbatas 'tuk mengerti kamu
Maafkanlah aku

Walau ku masih mencintaimu
Ku harus meninggalkanmu
Ku harus melupakanmu
Meski hatiku menyayangimu
Nurani membutuhkanmu
Ku harus merelakanmu

Dan hanyalah dirimu
Yang mampu memahamiku
Yang dapat mengerti aku

Ternyata dirinyalah
Yang sanggup menyanjungmu
Yang ramah menyentuhmu
Bukanlah diriku

XI –

Barangkali ini adalah jalan yang terbaik untuk kita. Untukmu dan juga untukku. Kini, kau juga telah mendapatkan seorang kekasih yang bisa membuatmu lebih berbahagia. Aku harap, dia bisa menjaga dan merawat kepercayaan yang kau berikan. Aku harap dia tak seperti aku, yang begitu tolol menghianati kepercayaan yang telah kau berikan.

Tersebab aku menyayangimu, aku akan selalu berdoa yang terbaik untukmu. Tentang aku, biarkan segala tentangmu memberiku pelajaran, supaya kelak aku bisa lebih dewasa dalam menyikapi sebuah kepercayaan yang orang lain titipkan.

Dan tentang orang-orang yang selalu dekat dengan kita, yang telah membukakan jalan keluar dan telah menyadarkan kita. Aku patut mengucapkan terimakasih pada mereka. Memang benar apa kata mereka: Sesuatu yang sudah terjadi, tak akan bisa kembali lagi – hanya bisa disyukuri, tanpa harus disesali.

..Salam untuk dia yang kini menjagamu. Aku yakin dia laki-laki yang baik. 


* Backsounds : Samsons - Bukan Diriku

0 Response to "Bukan Diriku"

Post a Comment