Impian


Selamat datang di tahun 2014, Dii.

Sebenarnya aku tak tau harus mengawali ini semua dengan cara bagaimana, aku merasa canggung. Mungkin karena kita sudah lama tak pernah saling tatap, aku jadi lupa bagaimana cara menyapa dan mengawali pembicaraan denganmu.

Beberapa hari lalu, sebenarnya aku ingin sekali mengucapkan selamat tahun baru padamu. Tapi sayang, aku tak punya cukup nyali untuk mengatakan itu. Aku ingin mengajakmu menikmati malam-malam pergantian tahun. Tapi sayang, aku tak punya terlalu banyak keberanian mengubah rencana menjadi nyata. Tak hanya itu, aku juga berpikir untuk mengajakmu untuk bersama-sama menuliskan sebuah Resolusi. Supaya suatu saat bisa kita tengok dan kita baca lagi kumpulan resolusi selama 365 hari kedepan. Tapi sayang, keinginanku kini sudah terasa usang – dikalahkan oleh waktu yang terus-menerus berjalan.

13 Bulan Yang Lalu –

“Dii, Resolusimu tahun ini apa?” Tanyaku.

“Haa?” Kau menoleh kearahku. Heran.

Aku mengangguk. “Resolusi, Dii. Teman-temanmu banyak loh dihari-hari menjelang pergantian tahun menuliskan beberapa resolusi. Kau nggak tertarik dengan apa yang mereka lakukan?” Tanyaku lagi. Lalu aku kembali melanjutkan menikmati kopi.

“Aku engga cukup percaya diri menulis impian, Al.” Jawabmu. Sambil membetulkan posisi kacamata ber-frame merah hitam itu. “Aku ragu sama impian-impianku, Al. Aku takut.” Imbuhmu. Menggeleng.

“Setidaknya, kau harus berusaha mencoba menuliskannya, Dii. Atau mungkin kalau kita bisa merubah impian menyadi kenyataan, itu akan lebih terasa menyenangkan dan membanggakan.” Jawabku.

“Tapi, Al, aku ingin seperti ini saja.” Katamu. “Aku masih trauma, Al. Aku takut mengecewakan orang-orang yang ada disekelilingku. Aku takut bermimpi, Al. Lebih baik tak usah punya impian yang tinggi kalau impian itu nantinya berujung menyakiti orang-orang disekelilingku.” Imbuhmu.

“Aku ingin mengalir seperti air, Al!” Tegasmu.

Aku tetiba terdiam.

Hening. Kita berdua saling terdiam. Tak ada sepenggal kata yang terucap. Beberapa langkah sepatu berdecit di lantai kedai itu. Orang-orang yang baru saja datang sedang sibuk memesan makanan dan kopi.

Semakin malam, semakin banyak orang-orang yang datang menikmati secangkir kopi dikedai kopi langganan kami. Tak diragukan lagi, banyak orang-orang yang kecanduan dengan kopi dikedai itu.

*

Kau masih ingat percakapan kita di kedai kopi, Dii?

Mungkin saat itu kau memang sedang berhadapan dengan kesulitan yang amat besar. Impian, dan cita-cita harus kau pertaruhkan. Maaf kalau saat itu aku tak bisa membantumu, Dii. Aku tak tau harus berbuat dan berkata apa supaya kau bisa sedikit bangkit dari keterpurukan dan kekecewaan itu.

Aku harap, kini kau sudah kembali menjadi dirimu yang penuh dengan keceriaan. Kembali menjadi dirimu yang penuh kebaikan, ringan tangan, dan tentunya siap menantang segala impian. Ya, menantang impian, Dii. Aku ingin kau bisa menakhlukkan dan menggenggam setiap impian-impianmu.

Dii, sejujurnya aku ingin mengajakmu sedikit berbicara tentang resolusi, atau lebih tepatnya tentang impian. Karena mungkin bagiku, impian adalah sesuatu yang ajaib yang mampu membuat kita terus berjalan kedepan. 

Dan tentang resolusi, mungkin kita punya presepsi dan definisi masing-masing mengenai hal itu, Dii. Bagiku, resolusi semacam ringkasan beberapa pemikiran-pemikiran, yang kita tuliskan saat mengawali sebuah perjalanan. Mungkin ini agak terlihat konyol, karena aku mendefinisikan Resolusi hanya asal-asalan, bukan dari buku, maupun orang-orang yang berilmu. Sejujurnya aku tak cukup pintar dalam mendefinisikan ataupun mengartikan sesuatu. Aku rasa jangkauan pemikiranmu lebih luas dariku, aku yakin kau lebih tau mengenai presepsi ini daripada aku.

Apa kau masih ingin melanjutkan membaca tulisan ini, Dii? Aku harap setelah kau selesai membaca tulisan ini, kau akan kembali menuliskan impian-impian besarmu lagi. Lalu aku ingin melihatmu berpacu dengan waktu mengeksekusi mimpi-mimpimu, satu persatu.

Beberapa hari lalu, aku menemukan sebuah definisi mengenai resolusi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, re·so·lu·si adalah putusan atau kebulatan pendapat berupa permintaan atau tuntutan yang ditetapkan oleh rapat (musyawarah, sidang); pernyataan tertulis, biasanya berisi tuntutan tentang suatu hal.

Kalau kita merujuk pada arti tersebut, maka resolusi merupakan kumpulan hasil pemikiran atau keputusan yang berupa tuntutan – rencana perjalanan dan impian yang dituliskan maupun yang tak dituliskan. Tetapi sekarang, mungkin kata Resolusi sudah mengalami perluasan makna yang lebih lebar. Lebih luas dari definisi dari KBBI sendiri. Resolusi kini menjadi sebuah kata sederhana yang punya banyak makna dan definisi. Dia bisa menjadi sebuah harapan, impian yang akan diwujudkan, maupun sistem perencanaan yang akan kita gunakan sebagai salah satu acuan untuk berpijak dan melangkah kedepan.

Dii, setiap orang pasti selalu ingin bisa menggapai mimpi dan harapan masing-masing, kan? Tapi, perlu kita ingat, Dii. Pada dasarnya mimpi itu bersifat fleksibel – ia lentur; mudah dibengkokkan, dan luwes; mudah dan cepat menyesuaikan diri dengan keadaan.

Jika kau masih membaca tulisanku, aku ingin kau membacanya pelan-pelan. Karena aku sendiri, sejujurnya perlu waktu untuk memahami paragraf demi paragrafku ini. Dalam proses menggapai impian, ada 2 kemungkinan yang akan terjadi, Dii. Ada impian yang bisa berbuah menjadi kenyataan jika dilakukan dengan kesungguhan, dan ada pula impian yang hanya berbuah menjadi angan-angan jika hanya diimpikan tanpa diusahakan dengan kesungguhan. Dii, mungkin untuk hal yang kedua, aku pernah, dan bahkan berkali-kali mengalaminya. Impianku terbuang. Ia hanya menjadi angan-angan yang semakin lama semakin terasa usang, semakin terlupakan, pun tergadaikan oleh waktu yang tak pernah berhenti berjalan.

Dii, seiring perjalanan menyelsaikan resolusi maupun rencana perjalanan, mungkin ada impian-impian kita yang tak bisa diwujudkan. Dan ketika impian-impian itu tak bisa terwujudkan, bukan berarti Tuhan membenci impian kita, Dii. Tidak. Bukan itu. Ketika ada impian dan rencana kita tak terwujudkan, ada 3 kemungkinan penyebabnya : Karena mungin impian kita yang terlalu tinggi, bisa karena usaha kita yang kurang keras, atau mungkin karena Tuhan punya rencana lain untuk kita yang lebih megah dan indah, Dii. 

Jika demikian, kau tak perlu ragu kalau ingin menuliskan berberapa impian ataupun rencana perjalanan selama setahun kedepan. Tulislah setiap rencana dan impian itu ditempat yang kau suka – diselembar kertas kecil, dimeja belajar, dalam buku diary, maupun blog pribadi. Lalu, setelah kau menuliskannya, imbangi impian-impian itu dengan tindakan; memberi  yang terbaik disetiap detik yang kita habiskan dalam mencapai impian, dengan kesungguhan-kesungguhan. Kalaupun impian itu tak bisa kau wujudkan, kau tak perlu kecewa, bahkan berputus asa, Dii. Mungkin Tuhan punya rencana lain yang lebih megah dan indah untukmu, Dii.

Ah, aku jadi teringat beberapa bait lagu kesukaan temanku, Bondan & Fade2Black yang judulnya 'Waktu'.

Tapakilah jejak diri
Wujudkanlah mimpi
Dan yakinlah kan kau raih

Lakukanlah dari hati
Beri yang terbaik
Pasti kan kau raih

Aku rasa beberapa bait lirik lagu itu, atau mungkin keseluruhan lirik dalam lagu itu memang memiliki makna yang dalam. Entah kenapa, kini lagu itu menjadi spirit tersendiri bagiku. Aku seolah mendapat pelajaran berharga dari lagu itu; bahwa salah satu hal yang kita perlukan untuk bisa menggapai sebuah impian, adalah keyakinan.

Dii, kelak, saat impian-impianmu itu menjadi kenyataan, saat semua jalanmu terbuka lebar, saat beban berat hanya tinggal kenangan, saat resolusi tak hanya sebatas mimpi, saat kau bisa tertawa diakhir usaha, saat kau merasa benar-benar nyata, merdeka, dan berbahagia, aku harap kau tak lupa,

...bahwa dalam proses pencapaian impian, Tuhan juga ikut berperan.


*backsound : Bondan Prakoso & Fade2Black - Waktu

0 Response to "Impian"

Post a Comment