Di Atas Awan

Sore itu, dengan wajah kusut dan murung, ditemani secangkir kopi didekatnya, Ulfah duduk di kursi depan kostnya. Sudah seminggu dia tak pernah mengikuti perkuliahan. Bahkan, dua hari yang lalu Ulfa juga tak mengikuti praktikum Kimia Klinik yang seharusnya harus diikuti oleh setiap mahasiswa supaya bisa mengikuti ujian akhir semester.

“Fa?” Sapa Yoga. Melihat Ulfa duduk didepan kost sendirian, Yoga memberhentikan kendaraan bermotor yang dikendarainya bersama Adi.

“Iya, Ga?” Jawab Ulfa tanpa ekspresi.

“Betah amat dikost, Fa? Banyak temen-temen yang nyari kamu.” Kata Yoga. Sambil melepas helm yang mereka pakai, lalu berjalan mendekati Ulfa.

“Lagi ada masalah?” Tanya Adi. “Bolosnya lanjutin sampai hari selasa, Fa. Hari senin nggak ada mata kuliah Metpen. Bu Dewi workshop ke Semarang.” Imbuh Adi.

“Oh, iya? Asik dong.” Jawab Ulfa. Senyum Ulfa tak seperti biasanya.

Yoga dan Adi mengangguk. Kemudian mereka bertiga tersenyum. Tapi, senyum Ulfa seolah terbebani beban yang amat berat.

“Oiya, besok sabtu sore, temen-temen mau ndaki ke Lawu. Sama Rissa juga. Kau mau ikut?” Tanya Yoga.

“Udahlah, nggak usah terlalu lama mengurung diri dikost dan menjadi anti sosial gitu, Fa.” Sahut Adi. “Ikut aja ke Lawu.” Ajaknya.

Ulfa hanya membalasnya dengan senyum. Sepertinya dia masih tak tertarik pada ajakan Yoga dan Adi. Karena bagi anak kota seperti Ulfa, gunung adalah salah satu tempat yang tak pernah terbesit sedikitpun dalam pikirannya untuk dikunjungi.

“Dipikirkan dulu tawaran kita, Fa. Mau atau enggak. Kalau mau, kamu tinggal sms atau telfon aku. Nanti aku bantu cari pinjaman peralatan daki, Fa.” Kata Yoga.

Melihat cahaya-cahaya sore perlahan lenyap, lalu Adi melihat jam tangan yang ia pakai. “Sudah mau maghrib, Ga. Ayo ambil cucian.” Ajak Adi.

“Fa, ambil cucian dulu ya. Dipikir dulu lah. Apa salahnya ikut ndaki ke Lawu sama temen-temen. Toh, ini ngga ada hubungannya sama kampus. Nggak ada dosen dan mata kuliah yang membuat kita pusing ber-ribu keliling.” Pungkasnya.

“Nah, bener itu, Fa. Dipikir matang-matang ya. Jangan nyesel kalau sampai nanti nggak ikut. Tak ada salahnya kita berusaha mengenal Indonesia, kan?” Tanya Adi.

Yoga pun menghidupkan motor miliknya dan mengenakan helm miliknya.

“Iya, Di. Ntar aku kasih kabar.” Jawab Ulfa. Singkat.

Kemudian Yoga dan Adi pergi meninggalkan kost Ulfa. Perlahan semakin jauh, dan semakin menjauhi kost Ulfa. Dan raut wajah Ulfa masih saja menampakkan kesakitan dan kesedihan yang mendalam. Tak ada rebahan bunga-bunga yang bermekaran dihatinya, dan senyum Ulfa tak semanis dan seindah biasanya.

Matahari perlahan menenggelamkan cahaya-cahaya jingganya. Burung-burung mulai kembali kesarangnya. Suara kendaraan bermotor masih saja berlalu lalang melewati jalan, dan beberapa dari mahasiswa terlihat baru pulang dari perkuliahan.

Hari perlahan semakin gelap. Suara adzan maghrib mulai terdengar samar-samar.

*

Malamnya, setelah Yoga selesai menyiapkan peralatan mendaki, dia bergegas menuju dapur untuk memasak makanan. Adi masih sibuk menyiapkan dan mengemas tenda yang akan digunakan untuk pendakian. Dari kamar Yoga, samar samar terdengar suara HP milik Yoga.

“Tolong ambilin HP-ku dikamar, Di. Terus bawa ke dapur. Nasi gorengnya ngga bisa ditinggal, Di.“ Pinta Yoga.

“Bentar. Paling pacar elu, Ga.” Celoteh Adi.

“Udah bawa sini aja. Bewel lu, Di.” Cetus Yoga dari dapur.

Lalu Adi berjalan menuju ke kamar Yoga yang bersebelahan dengan kamarnya. Mengambil HP milik Yoga. Lalu tanpa disengaja, Adi melihat salah satu teman yang diajaknya tadi sore pendakian sedang memanggil.

“Ulfa telfon, Ga!”

“Yaudah, angkat aja, Di.” Pinta Yoga.

“Iya hallo...Ada apa, Fa?”

“Ga, setelah aku pikir-pikir, kayaknya aku ikut pendakian ke Lawu deh. Tapi, aku ga ada peralatan daki. Bisa pinjemin aku alat daki ke temen kamu mapala?”

“Ini Adi, Fa. Yoga didapur buat nasi goreng. Serius ikut?” Tanya Adi. Belum percaya.

“Oiya, sorry, Di. Kirain Yoga. Serius aku, Di. Aku ikut ke lawu. Tapi, aku nggak ada peralatan daki. Gimana?” Tanya Ulfa.

“Ulfa keren. Sekarang jadi anak gunung.” Jawab Adi sambil ketawa.

Adi lalu menjauhkan HP milik Yoga dari telinganya. “Ulfa jadi ikut ke Lawu. Kita pinjem peralatan di kantor mapala satu lagi besok, Ga.” Teriak Adi kearah dapur.

“Iya. Gapapa.” Jawab Yoga dari dapur. “Beres.” Teriak Adi.

“Besok kita pinjemin peralatan daki di kantor mapala, Fa.” Kata Adi pada Ulfa.

“Iya. Makasih ya, Di. Kamu emang temen yang baik.”

“Santai, Fa. Jangan lupa bawa makanan yang banyak yaa.” Goda Adi. Tertawa.

“Haha, iya, Di. Buat kamu apa sih yang enggak?” Balas Ulfa. Menggoda. “Yaudah, aku mau tidur dulu, Di. Udah malem. Aku tunggu kabar selanjutnya.” Pungkasnya.

“Oke siap, Fa.” Pungkas Ulfa.

Lalu, Ulfa menutup pembicaraan di telfon dengan Adi. Setelah makan malam dengan nasi goreng , Yoga lalu mengirim pesan pada salah satu teman mapala-nya yang juga suka pendaki untuk meminjam satu set peralatan daki. Beruntung masih ada SB, jaket gunung, daypack, dan sepatu gunung di kantor mapala.

Dengan ikutnya Ulfa, berarti genap 8 orang yang ikut pendakian ke Lawu. Yoga, Adi, Rissa, Ulfa, dan 4 teman sekelas mereka.

*

Setelah genap 8 orang berkumpul di masjid depan kampus, akhirnya Yoga dan 7 rekannya memutuskan berangkat menuju Cemoro Sewu pukul 4 sore. Mereka memutuskan untuk berangkat pukul 4 sore supaya 4 teman sekelasnya yang perempuan bisa istirahat di Cemoro Sewu sebelum naik ke puncak.

Sesampainya di Cemoro Sewu, mereka kemudian beristirahat dan makan malam untuk menghimpun tenaga sebelum menapaki gunung Lawu. Kemudian setelah Isya, setelah melapor pada petugas penjaga dipintu masuk Cemoro Sewu, Yoga dan 7 rekannya mulai menapaki  track demi track yang cukup menantang itu.

Dengan berbekal jaket gunung, sarung tangan, penutup kepala dan sepatu yang cukup menahan udara dingin, Yoga, Adi, dan teman temannya memulai berjalan melewati track yang ada. Ditemani bulan dan bintang yang cukup terang, mereka berjalan bersama sama menapaki jalan setapak demi setapak menuju puncak.

*

“Fa, nih, kopi hangat.” Kata Yoga sambil menyodorkan gelas berisi kopi kehadapan Ulfa. Laki laki dengan postur yang cukup tinggi dan agak pemalu dengan perempuan itu kemudian duduk disebelah Ulfa.

“Masih betah nggak ngikutin kuliah, Fa?” Tanya Yoga sok tau. Kebetulan Yoga satu kelas dengan Ulfa. Yoga mengetahui kalau akhir-akhir ini Ulfa tak banyak mengikuti perkuliahan. Bahkan minggu ini Ulfa tak mengikuti perkulihan satupun.

“Apaan sih, Ga. Kamu berlebihan.” Kata Ulfa pelan. Kemudian menyeruput kopi hangat yang diberikan Yoga tadi.

“Udah, cerita aja, Fa. Raut wajah kamu udah kayak raut wajah pemimpin negara Indonesia loh. Raut wajahmu kusut, keliatan lagi banyak masalah.” Yoga berusaha menggoda Ulfa. Akhir-akhir ini, barangkali Ulfa memang selalu disoroti oleh dosen-dosen mata kuliah karena perempuan yang hobi berenang itu sering absen dari perkuliahan. 

Ulfa tersenyum kecil. Lalu ia memandang ke atas, ke arah langit yang penuh dengan milyaran bintang yang seolah terasa begitu dekat di atas kepalanya.

“Baru kali ini loh, Ga, aku lihat banyak bintang sampai sebanyak ini.” Kata Ulfa.

“Wah, berarti kamu harus sering-sering naik gunung, dan berusaha lebih giat lagi mencintai Indonesia, Fa.” Sambung Yoga diikuti dengan gelak tawa mereka.

“Ah, gunung itu bikin capek, Ga. Mending dirumah, engga capek, engga kedinginan, engga jalan jauh banget, enggak sakit kakinya. Disini kita mau ngapain coba?”

Yoga hanya tersenyum mendengar perkataan Ulfa. Lalu ia memegang pergelangan tangan Ulfa. “Sini, ikut aku.” Kata Yoga. Mengajak Ulfa melewati padang rumput luas penuh dengan alang-alang. Angin malam berhembus kencang membuat Ulfa cukup kedinginan.

“Ga, kita mau kemana? Mau macam-macam sama aku?”

“Udah diem. Ikut aja aku. Bentar lagi kita sampai.”

Setelah Yoga dan Ulfa keluar dari padang alang-alang di area camping ground pos 5, mereka berdua melihat pemandangan lampu kota Magetan dan telaga Sarangan ditemani milyaran bintang di atas mereka.

“Astaga, indah sekali pemandangannya, Ga.” Kata Ulfa. Kagum.

“Ini jawabannya. Kenapa harus capek-capek naik ke gunung, Fa.” Kata Yoga.

Ulfa masih saja memandangi sekelilingnya dan tak dapat berkata kata. Jiwanya masih saja sibuk mengagumi lukisan semesta yang amat sangat menakjubkan – yang berada tepat dihadapan matanya.

“Fa, gunung itu kayak dosen. Tapi bukan dosen-dosen seperti yang kita kenal di kampus. Gunung itu dosen kehidupan, Fa.”

“Maksud kamu?” Tanya Ulfa. Sedikit bingung.

“Gini, Fa. Untuk dapat sampai dipuncak, kita harus terus menerus berjalan keatas, meski terkadang kita harus turun ke lembah untuk kemudian kita akan naik lagi, dan harus terus menerus berjalan kedepan – menuju  untuk sampai kepuncak. Mengejar cita-cita dan menjalani hidup juga sama, dalam perjalanan menggapainya, kita akan melihat banyak hal yang mungkin tak kita duga sebelumnya: ada luka, duka dan ada pula suka yang menemaninya. Seperti tadi, saat dalam perjalanan, kamu dan Rissa sempat terkena lintah dan jatuh karena terpeleset batu. Tak hanya itu, kita juga akan merasakan lelah yang luar biasa, dan sesekali bakal merasa sakit, lalu kita harus berdiri lagi, dan berjuang lagi hingga sampai di puncak.”

“Selain itu, dalam perjalanan menuju puncak, semakin kita menuju ke tempat yang lebih tinggi, semakin pula kita akan disuguhkan dengan pemandangan-pemandangan yang tak bisa kita dapatkan kalau kita hanya menikmati lampu-lampu malam dikota saja. Sama dengan hidup, kalau kita tak berani untuk menerjang rintangan yang menutupi jalan didepan, yang kita dapatkan pasti juga hal-hal yang biasa-biasa saja. Namun, kalau kita berani berjalan lebih banyak lagi, bekerja lebih giat lagi, berusaha lebih keras lagi, dan berdoa lebih tulus lagi, aku yakin, yang akan kita dapatkan nantinya adalah hal-hal yang lebih dari apa yang kita bayangkan sebelumnya – hal-hal yang lebih menakjubkan dan mengagumkan melebihi apa yang kita pikirkan.”

Ulfa terkejut. Ia bahkan tak menyangka, temannya yang jago bermain voli, agak pemalu pada perempuan dan hobi mendaki itu bisa sangat bijak.

“Manusia itu banyak, Fa. Dan asal kamu tau, manusia selalu punya masalah. Nggak ada manusia yang engga punya masalah, Fa. Bahkan banyak yang masalahnya lebih berat dari kamu. Ada yang masih bingung besok mau membayar uang sekolah dan uang kuliah dengan apa. Ada yang tak tau besok masih bisa memberi makan anaknya apa enggak. Ada yang baru saja ditinggal oleh kedua orang tuanya. Ada yang mikirin bagaimana cara membuat bahagia orang tua. Ada yang harus mengungsi karena banjir dan tak punya tempat tinggal.”

“Lihatlah dirimu, udah dibiayai kuliah mahal-mahal, tiap hari orang tua kamu mencari uang untuk biaya kuliahmu dengan usaha sangat keras, tapi kamu malah kuliah seenakmu sendiri? Dan, setelah mengetahui kalau pacarmu ternyata punya cewek lain dibelakangmu, kini kamu semakin tak pernah menampakkan diri dikampus.”

“Tapi, kan...” Ulfa merasa agak kesal.

Ternyata Yoga sudah mengetahui semuanya. Mulai dari kebiasaan Ulfa bolos kuliah, tak pernah mengerjakan tugas, jarang mengikuti praktikum, hingga permasalahan Ulfa dengan kekasihnya.

“Tapi kan apa? Ulfa, Ulfa, seharusnya kamu banyak bersyukur.” Kata Yoga dengan nada agak meninggi.

“Tuhan ngasih kamu Mama dan Papa yang baik buat kamu, Fa. Mama dan Papa yang selalu ada untukmu, yang selalu membiayaimu untuk melanjutkan dan menyelsaikan jenjang pendidikan di perguruan tinggi, tapi kamu malah menyia-nyiakan kesempatan yang Tuhan, Mama, dan Papamu berikan. Di Indonesia yang amat luas ini, masih banyak lulusan SMA/SMK yang tak bisa melanjutkan perkuliahan, terutama karena masalah biaya. Tapi kamu, udah dibiayai mahal-mahal sama Mama, dan Papa, tapi kamu masih saja kuliah seenakmu sendiri. Itu berarti kamu ga bisa menghargai usaha Mama, dan Papa kamu yang udah biayain kuliah kamu, Fa. Mereka selalu berdoa supaya kamu dapat lulus dengan nilai yang bagus, dan kelak bisa bekerja dengan bekal ilmu yang kau dapatkan dengan sebaik baiknya, tapi kamu malah menelantarkan usaha dan doa-doa mereka dengan tindakan tindakanmu yang konyol – tak pernah mengikuti perkuliahan, tak pernah mengikuti praktikum, dan tak pernah mengerjakan tugas yang diberikan dosen mata kuliah.”

“Fa, Aku selalu percaya, Tuhan memberi kita kesempatan untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi bukan untuk kita gunakan seenaknya sendiri. Tuhan ingin supaya kita bisa mendapatkan bekal yang lebih, guna melanjutkan hidup yang menanti didepan – supaya kelak kita tak tertinggal dan tak tersingkirkan oleh orang orang yang tak menyia-nyiakan kesempatan melanjutkan pendidikan dengan penuh keseriusan.”

Ulfa tersenyum. Yoga melihat senyum tertulus dari dalam hati seorang perempuan yang dari dulu sejujurnya sangat ia sukai.

“Nah, tersenyum kan cantik, Fa. Malam ini jadi tambah menakjubkan kan gegara senyum tertulusmu ikut menjadi bagian dari keindahan malam ini dipuncak.”

“Yah. Modus...” Kata Ulfa sambil mencubit pipi Yoga.

Yoga tertawa. Ulfa pun tak kuasa untuk menahan untuk tidak tertawa. Tawa mereka menyatu - memecahkan kemurungan yang tengah Ulfa rasakan.

“Oiya, makasih ya, Ga.”

“Makasih untuk apa?” Tanya Yoga

“Makasih untuk pelajaran yang jarang-jarang aku dapatkan.” Jawab Ulfa. Sambil melengkungkan senyum tulusnya.

Tiba tiba, terdengar suara langkah kaki dari padang alang-alang.

“Oh, ternyata kalian berdua disini.” Kata Rissa. “Api unggun udah nyala loh. Ayo kita nyanyi bareng bareng disana sambil menikmati sisa-sisa malam ini.”

Lalu mereka bertiga bergegas menuju ke tempat api unggun. Merangkum canda tawa dan melepas beban yang ada. Semua bernyanyi bersama. Ulfa bernyanyi dengan lepas, merasa terbebas dari rasa sakit dan resah yang telah memeluknya beberapa hari ini.

“Ga, mungkin memang benar. Aku harus belajar mensyukuri anugrah yang telah Tuhan beri. Dengan bersungguh sungguh menjalankan apa yang kini menjadi kewajibanku – melanjutkan pendidikan dengan penuh keseriusan selagi masih ada kesempatan.“

Yoga mengangguk. Tersenyum kearah Ulfa. Senyum mereka bertemu. Senyum yang mengalir lembut dari otot-otot saraf bibir Ulfa. Senyum yang riang dan membahagiakan.

Tak disangka, malam berlalu begitu cepat. Cahaya matahari semakin merangkak naik, para pendaki pun bergegas menyambutnya dengan penuh keceriaan dan kegembiraan.

“Yoga, sini!” Teriak Ulfa dari puncak. Penuh semangat.

“Iya, sebentar. Tunggu yang lain.” Jawab Yoga.

Sesampainya diatas bukit yang cukup luas itu, para pendaki sesegera mungkin menyibukkan diri; ada pendaki yang nampak sedang mengabadikan moment dipuncak, beberapa menikmati cahaya matahari yang hangat dan menawan, dan beberapa lainnya menyibukkan diri menikmati pemandangan yang disuguhkan oleh alam semesta. “Astaga, benar-benar indah sekali.” Kata Ulfa. Takjub. Wajah Ulfa tampak sangat berbinar. Mata cantiknya berkaca kaca.


Semakin pagi, cahaya matahari semakin memberi kehangatan tersendiri. Awan-awan mulai beriringan, menyambut datangnya kehangatan dan kedamaian.

Ini adalah untuk pertama kalinya ia menikmati dan memandangi matahari terbit dari puncak. Tak henti hentinya perempuan kota yang baru pertama kali melakukan pendakian melengkungkan senyum bahagia, dan nampak sangat-sangat berbahagia. Ia seolah telah terlepas dan menemukan jalan keluar dari permasalahan yang ia dapatkan – sedikit merasa tenang atas permasalahan-permasalahan yang sedang ia rasakan.

Cinta satukan hati
Kuatkan jiwa menghadapi dunia
Segala cinta dan luka
Kuatkan semua persahabatan

Bila kau merasa sedih 
Ingatlah bahwa kau tak sendiri
Tanpamu tak akan sama, tanpamu semua berbeda
Kisahmu juga kisahku, selalu bersama

Melangkah di bawah mentari yang sama
Mencari tempat kita di masa depan
Berjanji kita tak akan putus asa
Walaupun semua tak akan mudah

Kita penantang impian
Di atas awan kita kan menang
Kita penakluk dunia
Di atas awan kita kan menang, menang

...Disini, di atas awan, perempuan yang belakangan ini tengah terlarut dalam kesedihan dan permasalahan yang cukup dalam, kini berdiri dengan tegap, lantang dan penuh keyakinan - ia mampu melepaskan segelintir beban, merangkum kebahagiaan, pun merayakan kebebasan-kebebasan.



Backsound : Nidji - Di Atas Awan

0 Response to "Di Atas Awan"

Post a Comment