Mother and Son


...A mother, holds her son’s hand just for a while, but holds his heart for the whole time –

*

Pagi itu, anak kecil yang suka mengenakan peci berwarna putih dengan rajutan batik dibagian tepi bawahnya sedang lahap menghabiskan sarapan. Cepat-cepat dan penuh dengan semangat.

“Sudah habis, Yah!” Kata anak kecil itu. Bersemangat.

“Hebat!” Balas Ayah penuh dengan semangat.

Tak seperti biasanya. Hari ini sang Ayah terlihat agak khawatir pada si kecil itu. Mungkin karena putra kecilnya harus bercerita tentang seorang Ibu – perempuan yang ia pun belum pernah menemuinya sejak membuka mata untuk pertama kalinya.

“Yakin nanti mau bercerita tentang Ibu?” Tanya Ayah. Agak cemas.

"Iya. Aku akan menceritakan pada teman temanku supaya mereka tau siapa Ibu, Yah." Jawab anak kecil itu. Melengkungkan senyum lembut.

*

07.25 –

Sang Ayah dan si kecil itu tiba disekolah. Lalu mereka berdua memasuki aula tempat diadakannya pertemuan itu. Banyak juga anak anak yang ditemani oleh Ayah mereka, tetapi memang lebih banyak ibu yang datang pada acara silaturahmi wali murid kali itu. Tak selang beberapa lama, si kecil itu mengajak sang Ayah duduk dibaris pertama – tepat didepan panggung utama. Setelah duduk sebentar bersama sang Ayah, si kecil itu sibuk menyapa dan kemudian bergabung bersama teman-temannya.

Setelah melewati acara demi acara. Kini tiba saatnya untuk anak-anak bercerita. Satu persatu mereka maju ke depan untuk berdiri dan bercerita di panggung utama. Bercerita tentang Ibu dalam hidup mereka masing masing.

Si kecil yang mengenakan peci putih yang dibalut sedikit rajutan batik itu selalu memperhatikan temannya yang berdiri diatas panggung dengan baik. Sesekali sang Ayah menatap si kecil yang pemberani itu. Ada kecemasanan yang membuat sang Ayah semakin gundah. Sesekali sang Ayah menghela nafas panjang, mengusir kecemasan, menunggu giliran si kecil itu dipersilahkan berdiri didepan.

Tak kurang dari 15 menit, tibalah saatnya si kecil itu dipanggil, dan tibalah gilirannya untuk bercerita. Si kecil itu meraih tangan sang Ayah. Kemudian mengeratkan genggamannya. Barangkali ini adalah sebuah isyarat dari si kecil bahwa semua akan berjalan baik baik saja. Kemudian si kecil yang pemberani itu berjalan ke panggung. Sang Ayah sudah tidak bisa berbuat apa-apa. Sang Ayah hanya bisa menghela nafas panjang untuk melenyapkan kegundahan dan kekhawatiran –berharap si kecil pemberani itu bisa bercerita dengan baik tentang Ibunya.

Anak kecil itu kemudian mulai bercerita.

"Teman-teman, aku ingin bercerita tentang Ibuku. Mungkin Ibuku tak bisa hadir dan duduk disebelah Ayahku untuk melihatku bercerita tentangnya. Tidak apa-apa, itu tidak menjadi masalah buatku. Ibuku tau kalau aku akan bercerita tentangnya hari ini.”

Si kecil itu tersenyum. Beberapa orang yang berada dalam ruangan juga ikut tersenyum.

“Teman-teman, Ibu yang aku kenal bukanlah Ibu yang selalu mengajariku membaca, membedakan warna warna dan mengenal suara suara. Ibu yang aku kenal bukanlah Ibu yang membantuku berdiri sewaktu aku menangis karena terjatuh saat belajar naik sepeda. Ibu yang aku kenal bukanlah Ibu yang biasa mencium kening atau pipiku sewaktu waktu. Ibu yang aku kenal bukanlah Ibu yang biasa menyiapkan sarapan dan minuman setiap pagi. Ibu yang aku kenal bukanlah Ibu yang selalu menemaniku tidur ketika gelap dan petang datang menggantikan siang. Ibu yang aku kenal bukanlah Ibu yang setiap pagi selalu mencuci baju dan celanaku dan kemudian bekerja seharian untuk membiayai sekolahku. Ibu yang aku kenal juga bukan Ibu yang senantiasa menemaniku saat aku sakit dan terbaring lemah ditempat tidurku. Ibu yang aku kenal bahkan tak pernah sekalipun mengucapkan selamat ulang tahun untukku, walaupun sejujurnya aku sangat ingin sekali saja mendapat ucapkan selamat ulang tahun dari Ibu.”

Raut wajah si kecil itu terlihat agak kusut. Lalu, si kecil itu melanjutkan ceritanya.

“Ibuku bukannya tak peduli dan tak menyayangiku. Ibuku bukanlah ibu yang jahat, yang suka mementingkan diri sendiri, pekerjaan, dan kesenangan kesenangan. Bukan! Ibuku tidak seperti itu!” Nada si kecil itu agak meninggi.

Beberapa orang terpaku pada perkataan si kecil itu.

“Kata Ayah, Ibuku adalah seorang perempuan yang baik dan amat cantik. Ibu mungkin terlalu baik untukku dan Ayahku, bahkan Ibu mungkin teramat baik dihadapan Allah...”

Si kecil dengan peci putih dengan sedikit motif batik itu tiba tiba terdiam. Ada sesak dalam dada si kecil itu. Ada sesuatu yang pelan pelan menetes membasahi pipi si kecil itu. Seketika si kecil pemberani itu mengusapnya cepat cepat. Kemudian melanjutkan cerita.

“...hingga disaat aku dilahirkan ke dunia ini, Allah memanggilnya untuk pulang. Allah memanggil Ibu dihari bahagiaku. Allah memisahkanku dengan Ibu, pada hari kelahiranku.”

Sesak menghantam hati si kecil itu. Lalu ia mencoba menghela nafas panjang. Si kecil itu memberanikan diri untuk memandang ke sekelilingnya, menatap wajah Ayah tercinta dan wajah wajah orang disekelilingnya.

“Ibuku memang tak bisa menemaniku belajar dan mengerjakan PR dirumah, aku tau. Ibuku mungkin tak bisa membelikanku mainan-mainan yang bagus untukku, aku tau. Ibuku juga tak pernah membuatkanku makanan kesukaanku yang enak dirumah, aku tau. Ibuku bukan Ibu yang cukup baik seperti Ibu kalian yang selalu membelikan mainan, menemani belajar dan bahkan membuatkan makanan makanan kesukaan dirumah. Ibuku adalah seorang perempuan yang baik dan bahkan mutlak benar benar sangat baik untukku. Ibuku rela berjuang keras memperkenalkanku pada dunia ini, hingga akhirnya, pada titik nadir terakhir, Ibu berpulang...”

Si kecil itu berusaha tegar dihadapan banyak orang, dihadapan Ayahnya, teman-temannya dan juga ayah ibu mereka.

"...Sejak aku lahir, Ibu memang tak pernah benar benar ada di sisiku dan aku tak pernah sekalipun bisa menatap wajah cantik Ibu. Saat aku merindukannya, aku hanya bisa menatap wajah cantiknya yang terbekukan dalam sebuah foto. Aku tinggal menatap foto cantik Ibu dan pelan pelan merasakan keberadaannya, maka Ibu pelan pelan akan datang dan menghapuskan rindu yang membelenggu. Ibu selalu ada dihati dan menemaniku setiap waktu, aku percaya itu. Setiap kali aku bersedih dan membutuhkan Ibu, aku tinggal menutup mata sejenak dan memanggil namanya. Lalu, Ibu akan datang dan berusaha menenangkanku, kemudian menghapus kesedihanku pelan. Meskipun hanya aku yang tahu – dan mungkin hanya akulah yang bisa merasakan kehadiran sosok Ibu dalam hatiku.”

Si kecil pemberani itu menghela nafas. Suasana semakin sunyi. Beberapa orang menatap si kecil itu dengan tatapan rasa iba. Si kecil itu kemudian melengkungkan senyum lucunya.

“Rasanya benar benar sangat bahagia. Ketika bisa merasakan kehadiran sosok Ibu, saat aku sedang membutuhkannya. Seperti saat ini. Aku merasa Ibu sedang mendampingiku berdiri diatas panggung ini. Ibu bahkan juga tak malu malu melengkungkan senyum cantiknya yang lembut untukku. Ah, betapa bahagianya aku ketika bisa menceritakan tentang Ibu, lalu Ibu tersenyum lembut kearahku.”

Pelan pelan, anak kecil itu melengkungkan senyum. Tulus. Pipinya sedikit basah.

“Dialah salah satu perempuan hebat yang dikirim Allah untuk selalu menyayangi dan mencintaiku setiap waktu. Meski kadang-kadang aku merasa tak bersamanya, tapi cinta dan kasih sayangnya selalu mengalir dan menghangatkan dada.”

Si kecil itu membetulkan peci kecilnya yang mungil. Lalu, mengusap pipinya yang sedikit basah dengan tangan kanannya. Anak kecil itu nampak tegar dan begitu kuat.

“Dialah Ibu. Ibuku mungkin bukan perempuan terbaik dan tercantik bagi dunia dan seisinya. Bukan. Yang aku tahu, Ibuku adalah seorang perempuan teristimewa yang pernah aku miliki dan akan selalu aku cintai hingga ujung waktu. Tanpa Ibu, aku bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa didunia ini. Tanpa Ibu, aku tak bisa menikmati indahnya alam dunia seperti sekarang ini. Dialah pelita hidupku – perempuan terbaik dan terhebat sepanjang waktu."

Pipi anak kecil itu kembali basah. Beberapa orang yang berada di dalam ruangan pipinya juga ikut basah. Air mata dengan mudahnya meluncur lembut, mengalir dan membasahi wajah mereka yang halus.

Si kecil itu mengusap wajahnya yang basah. Ada perasaan sesak yang tak dapat anak kecil itu ungkapkan. Perasaan yang tak banyak orang bisa merasakannya – luka yang tak akan mudah sembuh begitu saja.

Tapi si kecil itu tetap berusaha melengkungkan senyum sekuat yang ia bisa...

...tegar

...lapang

...dan juga tenang.

*

...Seorang ibu, memegang tangan anaknya hanya untuk sementara waktu, tetapi memegang hatinya untuk sepanjang waktu –

2 Responses to "Mother and Son"