Home



Aku tersentak melihat hujan di luar jendela malam ini. Angin berhembus kencang – menerobos tingkap tingkap jendela - mendinginkan suasana. Ada perasaan hangat yang tiba tiba datang. Perasaan hangat ini selalu saja menemaniku – sejak saat itu. Pelan-pelan aku merapal doa : Rabbighfir lii waliwaa lidayya warhamhumaa kamaa rabbayaanii shaghiiraa. Aku mencoba merapal doa beberapa kali. Menghangatkan hati.

Setiap kali turun hujan, ada sesuatu yang selalu dan terus-menerus membayangiku. Sebuah momen yang tak kan mudah terabaikan dan tak kan pernah terlupakan.

*

“Besok Try Out-nya dikerjakan sungguh-sungguh. Nggak boleh ada banyak yang salah lho ya.” Kata Ibu. Aku masih ingat betul kata-kata itu.

Hujan yang sejak tadi sore mengguyurkan halaman rumah, tak kunjung berhenti. Sudah beberapa hari tidak hujan, dan hujan kali ini terasa sangat lama sekali. Sejak tadi sore langit masih meneteskan air hujan. Sejuk. Tetapi, sesekali suasana begitu dingin sekali.

“Dirumah enggak boleh nakal, harus jadi kakak yang baik dan nurut sama yang ada dirumah.” Aku masih ingat betul saat Ibu mengatakan itu padaku. Senyumnya sungguh membuatku gembira dan merasa tenang. Senyumnya lembut, tak ada yang bisa menandingi lengkung bibir yang cantik itu.

“Dirumah nggak boleh bertengkar sama adik lho ya.” Kata Ibu sebelum meninggalkan kami semua yang ada dirumah.

Di muka pintu, seolah ada sesuatu yang tertahan. Ibu menghentikan langkah sebelum memasuki mobil. Aku menatap Ibu, sebelum pergi. Aku berlari kearahnya, memeluknya, seolah ingin meyakinkan pada Ibu bahwa aku dirumah akan baik-baik saja. Ada ketidak relaan dalam hati kecilku. Tetapi, mungkin sudah saatnya Ibu harus pergi kerumah sakit. Aku mendekapnya erat. Semua akan baik-baik saja, kataku dalam hati.

Ibu tersenyum kearahku, mendekapkan peluk eratnya padaku. Lalu memasuki mobil.

“Hati-hati ya, dek.” Kata kakak perempuan Ibu yang biasa aku panggil bude.

“Iya, mbak.” Jawab Ibu. “Titip anak-anak dirumah ya, mbak.” Imbuh Ibu. Melengkungkan senyumnya yang manis itu.

“Iya, pokoknya kamu hati-hati.” Kata bude, sambil mengangguk. Tersenyum. Kemudian perlahan ibu melengkungkan senyumnya kearahku. “Besok Ibu akan pulang.” Katanya, seolah meyakinkanku setelah memasuki mobil.

Aku membalas senyum manisnya. “Hati-hati, bu.” Kataku. Lalu mobil yang dikendarai ayah perlahan meninggalkan kami semua yang ada dirumah. Ibu melambaikan tangan pada kami semua – sambil mengucapkan salam. Aku melihat Ibu meneteskan air matanya perlahan – semacam ucapan perpisahan, pikirku dalam hati.

*

Dirumah enggak boleh nakal, harus jadi kakak yang baik. Dan harus nurut sama yang ada dirumah. Aku masih ingat kata-kata itu 8 tahun yang lalu. Ibuku seorang yang baik hati bagiku. Seorang yang tangguh, pekerja keras dan selalu bisa memberiku apa yang aku mau. Terkadang Ibu suka memarahiku, tapi tidak selalu. Mungkin tak hanya aku, setiap anak pasti pernah dimarahi oleh Ibu. Mungkin karena kita tak mendengar perkataan atau tak mematuhi perintah Ibu. Atau mungkin karena tindakan kita yang tidak benar dimata Ibu, lalu membuat ibu marah. Ah, kemarahan seorang Ibu, barangkali merupakan sebuah teguran dan pembelajaran yang kelak akan membawa kita pada kebaikan-kebaikan. Pikirku.

Jalanan begitu ramai, tak seperti biasanya, terutama disalah satu tempat rekreasi keluarga dikotaku : The Park. Terlihat anak-anak seumuran denganku menikmati minggu pagi dengan berlari bersama teman-teman mereka. Beberapa kakak-kakak yang sudah SMA atau mungkin sudah Mahasiswa menikmati liburan mereka dengan bersepeda dan ada yang berjalan bersama-sama. Tak hanya anak-anak yang seumuran denganku dan kakak-kakak SMA ataupun Mahasiswa saja yang menikmati minggu yang cerah ini. Mereka yang sudah berkeluarga dan mempunyai anak kecil juga menikmati hari libur mereka berjalan-jalan dengan sangat gembira. Mereka semua sangat menikmati kebahagiaan mereka. Dan aku berbahagia, sebentar lagi aku akan punya adik lagi.

Aku melihat beberapa temanku sudah menungguku di depan pintu gerbang masuk untuk mengikuti Try Out.

“Ayo cepetan.” Kata salah satu temanku. Namanya Andri.

“Iyaa, bentar, Ndri.” Jawabku. “Sabar.” Kataku.

Aku menjabat tangan Ayah pelan. Berpamitan seperti biasanya. Menjabat tangan Ayah, kemudian menempelkan tangan Ayah dikeningku – sebagai salah satu bukti kepatuhanku. Dan tentunya aku juga memohon supaya dilancarkan dalam segala hal. Itulah sebabnya aku selalu berusaha untuk berpamitan sebelum bepergian.

“Nanti aku dijemput jam 12, Yah?” tanyaku pada Ayah.

Ayah mengangguk sambil senyum. “Iya. Jangan lupa berdoa sebelum mengerjakan.” Jawab Ayah.

Aku mengangkat alis mata kiriku, menyetujui dan membalas senyum Ayah. “Pasti!” Jawabku percaya diri.
Perlahan, ada perasaan aneh yang seolah menahan langkahku untuk menuju kedalam sekolah. Tiba-tiba, aku teringat Ibu. Ada semacam ketidak-ikhlasan untuk mengikuti Try Out ini. Aku ingin bertemu Ibu, kataku dalam hati. Sejenak sebelum meninggalkan Ayah, aku menengok kearah ayah.

“Sudah sana cepet masuk!” Kata ayah, sambil membetulkan sarung tangan yang ayah pakai.

Aku menatapnya. Mengangguk perlahan. Lalu, ayah tersenyum kearahku. Aku meyakinkan sekali lagi bahwa semua akan baik-baik saja. Kemudian aku menghampiri teman temanku.

“Ayo teman-teman, kita hajar soal-soal Try Out kali ini.” Kata Dita. Salah satu teman perempuanku yang jago matematika.

“Ayooooo!” Kami serentak seolah menjawab pernyataan Dita penuh semangat. Kemudian kami mencari tempat dan ruang ujian masing-masing.

*

Aku melihat jam tangan yang aku pakai. Sudah pukul 12.45, Ayah belum juga menjemputku. Aku merasa cemas.

“Belum pulang ya? Masih nunggu jemputan?” Tanya guru yang menjaga diruanganku tadi. Dia adalah guru perempuan yang baik hati dan ramah terhadap murid-murid diruangan tempat aku Try Out tadi.

“Belum, bu.” Jawabku pendek. Aku mulai resah.

“Ditunggu dulu ya, sebentar lagi pasti datang.” Balasnya sambil melengkungkan senyum kearahku. Sedikit menenangkanku.

“Iya, bu.” Jawabku sambil mengangguk.

Aku berjalan menjauhi gerbang sekolah – mencari tempat yang agak teduh dan rindang sambil membeli jajanan. Entah mengapa, kata ‘menunggu’ selalu berhasil membawaku pada kebosanan yang dalam. Aku kembali melirik jam tanganku, waktu menunjukkan pukul 13.20. Aku semakin takut, menunggu sendirian dan tak ada teman lagi. Teman-temanku mungkin sekarang sudah tidur nyenyak dirumah. Makan siang dengan keluarga, atau bahkan sudah bermain bersama.

Aku kembali teringat Ibu, apa kabar dia sekarang? Apa Ibu sudah melahirkan? Tanyaku dalam hati. Cemas dan gusar. Entah kenapa, air mataku perlahan menetes. Aku segera mengusapnya. Apa aku ketakutan berada disini sendirian dan ayah tak kunjung datang? Atau, mungkinkah terjadi sesuatu yang lain. Ah, aku sudah mau bersekolah di SMP. Aku tak boleh menangis hanya karena ayah tak kunjung datang menjemputku. Tetapi ternyata, aku tak bisa membendung air mataku sendiri.

Lamat-lamat, salah satu penjaga toko dirumahku datang menjemputku. Aku berusaha menghilangkan bekas air mata dipipiku. Mengusapnya dengan bajuku.

“Ngapa nangis?” Tanya mang Miun.

“Engga, aku engga nangis.” Jawabku pendek. Sambil mengusap sisa air mata yang masih membekas dipipiku.

“Katanya Ayah yang jemput?” Tanyaku. Agak pilu. Mang Miun hanya melengkungkan senyum sedikit untukku. Entah kenapa aku tak begitu mengerti.

“Ayo kita pulang.” Kata mang Miun sambil melengkungkan senyum anehnya kearahku.

Tidak seperti biasanya, mang Miun yang berwatak keras kepala dan susah senyum, kali ini melengkungkan senyumnya untukku tulus. Ada apa ini? Tanyaku dalam hati. Ada keanehan dan kejanggalan disini.

“Sudah ditunggu dirumah.” Kata mang Miun, lagi-lagi dengan senyumnya yang aneh. Berasa ada kesedihan yang dalam.

Perlahan aku naik dan membonceng. Kemudian kami memutuskan untuk pulang dengan perasaan yang masih menyimpan keanehan yang besar.

*

Ku tembus waktu, penghalang jarak antara
Aku dan kau serta ruangan bertatap muka
Dimana dimensi raga dan jiwa
Sebarkan aroma psitif dari rasa kerasa

Lalu melepas cinta dengan sentuhan akhir
Ku pulang kembali walau detik terakhir
Ku tulis perih dan layak Neruda
Kau rekam suka cita di dalam dada

“Sampai rumah nanti nggak boleh nangis lho ya.” Kata mang Miun dengan nada canda. Ada apa sebenarnya? Tanyaku dalam hati, penasaran.

Dari jarak 50 meter lebih, aku melihat banyak orang orang didepan rumahku. Sejumlah tetangga, bapak-bapak, ibu-ibu juga ada. Ada semacam perasaan aneh menyelimutiku – ketakutan yang dalam.

Ketika hampir sampai, aku melihat wajah orang-orang menatapku, dengan perasaan dan wajah yang kusut. Mang Miun mengelus pundakku setelah menempatkan motor didepan rumahku.

“Sabar ya, mas.” Kata tetanggaku, namanya mang Darman. Sambil menggandeng tanganku yang mulai melemas.

“Ada apa, Mang?” tanyaku. Aku semakin takut, perasaan ganjil semakin membuyarkan seluruh isi otakku.
Aku bingung. “Sabar ya, mas..” kata bi Tina. Tiba tiba bi Lina menangis dipundakku - memelukku erat tubuhku.

“Sabar ya, mas. Sabar ya.” Kata-kata itu semakin menyentak otakku. Aku berusaha menguatkan langkahku. Berjalan menuju rumah dengan perasaan yang sangat sulit untuk dijelaskan.

Diujung pintu, kakiku gemetaran. Orang-orang menatapku dengan penuh rasa kasihan. Perasaan ini semakin mencekam, membuat isi hatiku semakin berantakan. Tidak boleh! Tidak boleh terjadi! Teriak hati kecilku. Aku semakin mendekat kearah pintu rumahku.

Tidak boleh!

Tidak boleh terjadi!

Masih jadi diri sendiri yang berjuang
Jalan panjang berliku aku harus tetap tenang
Ukur kemampuan jalani proses yang panjang
Saat menuju rumah ku kan tersenyum lapang

Menjemput impian tinggi di dalam kamar
Sketsa mimpi masa lalu yang kian berakar
I was stuck and i’ll keep on dreaming
The place i started, i’m going home

Di depan pintu masuk rumah. Aku melihat Ibu: aku melihat kenyataan yang yang sangat sangat mengerikan dan menyesakkan.

Aku melihat Ibu dalam balutan kain putih yang ditutupi kain bermotif batik berwarna cokelat. Ayah berada disamping Ibu. Menangis. Tak hanya ayah, seluruh keluarga yang ada didalam ruang tamu dirumahku – mereka menangis.

Badanku terlempar kelantai, lututku tiba tiba tak kuat menyangga tubuhku. Perlahan air mataku menetes. Meleleh membasahi kedua pipiku.

Suara tangis mereka semakin memecahkan keheningan sesaat setelah aku datang. Dalam hatiku, aku melihat senyum Ibu sebelum meninggalkanku – sesaat sebelum Ibu memasuki mobil untuk menuju rumah sakit. Senyumnya seperti bidadari yang melengkungkanku senyum yang abadi.

Aku mendekatinya, membuka penutup sarung cokelat yang menutupi seluruh tubuhnya. Aku menarik nafas panjang. Mengumpulkan kenangan kenangan yang sempat aku rekam dalam ingatan. Senyum Ibu masih seperti biasanya. Selalu menenangkan dan menentramkanku. Perlahan, aku mencium keningnya. Air mataku mengalir kepipiku. Aku mencium kedua pipinya yang lembut.

..Dirumah enggak boleh nakal, harus jadi kakak yang baik. Dan harus nurut sama yang ada dirumah. Aku masih ingat kata kata itu tahun yang lalu. Ibuku terlihat sangat sangat cantik. Aku menatap Ibu, melengkungkan senyum terbaikku.

Seharusnya aku tidak ikut Try Out tadi pagi. Seharusnya aku menemani Ibu dirumah sakit. Seharusnya aku ada didekat Ibu saat akan melakukan operasi. Aku menyesal, seharusnya semua tidak seperti ini..! Teriakku dalam hati.

Tuhan, ajarkan aku doa-doa dan mantra-mantra apa saja yang bisa mengembalikan Ibu seperti semula! Lakukan apa saja yang dapat mengembalikan Ibu seperti semula!

Tetap ambisionis mencari arah tujuan hidup
Meski ironis, langkah tegap takkan bungkuk
Melesat kencang dari pistol berpelatuk
Menuju titik akhir sebagai petunjuk

Ku harap cinta kan mengawalku pulang
Pada rangkulan rembulan dan bintang
Dimanakah akhir dari perjalanan panjang
Kapankah waktu ”selamat datang”

*

..Rabbighfir lii waliwaa lidayya warhamhumaa kamaa rabbayaanii shaghiiraa. Aku merapal doa itu berkali kali. Seharusnya tidak seperti ini! Teriak hatiku. Aku tidak tau harus berbuat apa lagi. Air mataku tak terbendung, membasahi pipi dan tak kunjung berhenti. Aku menggigit bagian atas bibirku. Kenapa bisa seperti ini?! Air mataku menetes membasahi pipiku.

Ada sesak yang menghantam ke dadaku. Aku tak menyangka ini akan seperti ini. Aku berusaha menarik nafas panjang, agak sedikit mengangkat kepala dan mengusap air mataku.

“Laki laki tak boleh terus menerus menangis seperti ini, mas.” Kata Ayah. Aku memalingkan wajahku kearah Ayah. Ayah memelukku. Erat. Seolah Ayah memaksaku menerima kenyataan yang sangat menghantam hati melebihi apa yang aku bayangkan sampai saat ini. Bagaimana aku menjalani hari hariku tanpa Ibu? Siapa yang akan memasakkan aku makanan yang sedap dan lezat di pagi hari? Siapa yang akan memarahiku? Siapa yang akan mencintaiku dengan sepenuh hati nanti?

Aku seolah tak mempercayai kenyataan ini. Kenapa bisa seperti ini? Aku hanya terdiam di dekapan Ayah. Melihat senyum Ibu yang menyejukkan dan menenangkan hati kami.

Suatu saat nanti, memang semua akan mati, menuju kehidupan dan kesempurnaan yang abadi...

“Ibu perdarahan saat melahirkan adikmu.” Kata Ayah padaku. Aku berteriak, seolah merupakan sebuah luapan emosi yang sudah tak bisa dibendung lagi, emosi yang semakin meninggi. “Dokter terlambat memberi tambahan darah pada Ibu.” Imbuh Ayah. Seluruh keluarga melihat kami dengan penuh rasa iba. Aku semakin banyak meneteskan air mata. Aku mengerti, tetapi haruskah secepat ini Ibu meninggalkanku?

Memang benar, segalanya mungkin tidak akan semuanya bisa hilang dari ingatan. Ada bagian bagian dari ingatan yang senantiasa berada dalam taman bunga kenangan, yang suatu saat bisa mekar kapan saja. Ada semacam ikatan suci antara aku dan Ibu yang menjelma menjadi bayang bayang – membawa kehangatan sunyi yang selalu menghampiri dan mendamaikan hati.

Maafkan aku, Ibu. Belum sempat membaktikan diri padamu. Maafkan aku, belum bisa menjadi kakak yang baik hati untuk adik-adik, Bu. Maafkan aku, belum sempat membahagiakan Ibu. Maafkan aku. Air mataku tak kunjung berhenti. Aku kembali menarik nafas panjang.

Ah, mungkin Ibu bisa memaafkanku. Tetapi aku tak bisa memaafkan diriku sendiri. Aku harus berbuat apa supaya aku bisa memaafkan diriku sendiri?

*

Angin bertiup cukup kencang, gerimis menggantikan hujan yang sudah beberapa jam membasahi jalanan, juga halaman. Air agak meluapkan volumenya. Perasaan hangat itu datang lagi, seperti biasanya. Rabbighfir lii waliwaa lidayya warhamhumaa kamaa rabbayaanii shaghiiraa. Aku merapal doa itu berkali kali.

..Dirumah enggak boleh nakal, harus jadi kakak yang baik. Dan harus nurut sama yang ada dirumah. Mungkin memang benar. Kini, salah satu yang bisa aku lakukan untuk membahagiakan Ibu dan menebus kesalahanku pada ibu adalah melakukan apa saja hal-hal baik yang terdapat dalam ruang kebaikan – segala macam dan bentuk kebaikan yang bisa membuat Ibu melengkungkan senyum abadinya untukku. Melakukan kebaikan-kebaikan yang aku tau bisa membuat Ibu berbahagia, dari tempat terbaik dan abadinya. Di surga. Ya, itulah tugasku.

Lalu melepas cinta dengan sentuhan akhir
Ku pulang kembali walau detik terakhir
Ku tulis perih dan layak Neruda
Kau rekam suka cita di dalam dada

Dimana aku berada
Everywhere i stay, it feels like home

Dimana aku berada
Everywhere i stay, it feels like home

Setidaknya, meski sekarang Ibu tak lagi disisiku, Ibu selalu ada dalam hatiku : senantiasa menemani dan menuntun jalanku – menjadi cahaya yang selalu menyinari, menghangatkan dan menyejukkan jiwaku.



*Backsound : Bondan Prakoso & Fade2Black - Home

0 Response to "Home"

Post a Comment