Sang Juara


Keringat membasahi pipinya yang sudah mulai keriput. Lelaki paruh baya itu masih berusaha mengayuh sepeda tuanya, ditemani burung-burung dalam sangkar yang diboncengkan dibelakang. Sejak matahari mulai terbit dari ujung timur, lelaki itu menyurusi jalan-jalan pedesaan, memasuki gang-gang sempit dan melewati rumah-rumah penduduk. Udara pagi masih terasa segar. Burung-burung yang ada disangkar saling bersiulan – berlomba-lomba untuk mendatangkan rezeki bagi lelaki itu.

Di gang sempit yang cukup banyak penduduk, orang-orang hanya memandang sekilas lelaki paruh baya yang lewat itu. Melihat lelaki penjual burung yang lewat, beberapa anak yang sedang bermain petak umpet disebuah kebun mencoba menyapa lelaki paruh baya itu – “hati-hati dijalan, kek” – sambil melambaikan tangan. Lelaki penjual burung itu mengangguk, memandang anak kecil itu, tersenyum. Tak jauh dari kebun itu, seorang pehobi burung yang sedang memandikan burung dipelataran rumahnya menyapa lelaki penjual burung itu, – “Laris pak dagangane...” kata pehobi burung dengan logat jawanya – lalu pehobi burung itu kembali sibuk memandikan burung kesayangan miliknya. Lelaki itu coba mengangkat tangan kanannya sambil tersenyum memandang orang yang menyapanya itu – “Diadusi sing resik manuke, ben do sehat.” – imbuh lelaki penjual burung itu dengan logat jawa juga. Sementara itu, sang penjual burung masih terus mengayuh dan menjemput rezeki yang entah masih bersembunyi dimana. Sampai siang ini belum ada satu pun burung yang laku terjual.

Usaplah keringat yang mengalir membasahi keningmu. Angkatlah keatas dagumu yang tertunduk layu. Jangan menyerah... Jangan mengalah...

Matahari sudah terlihat berada di sisi sebelah barat. Detik-detik terus berdetak menemani lelaki itu mengayuh sepeda tua miliknya. Lapar dan haus menguasai dan melilit perutnya. Lalu, ia memutuskan berhenti sejenak di salah satu pos ronda. Berusaha mengusap butiran-butiran keringat yang mengalir membasahi pipinya. Sambil menarik napas panjang, ia mencoba mengambil kantong plastik bekal air mineral dari istrinya daari rumah. “Apa kabar pemberi bekal air mineral ini?” tanyanya dalam hati. Lelaki itu menyandarkan tubuhnya, sejenak mengistirahatkan tubuh tuanya. Memejamkan mata dan mencoba mengistirahatkan lelah yang melingkupinya. Ada senyum lapang yang tiba-tiba mendinginkan suasana. Ia teringat istri dan anaknya yang ada dirumah – “Semoga mereka baik-baik saja” – bisik lelaki tua itu dalam hati.

Hampir satu jam lelaki paruh baya itu beristirahat di pos ronda. Tak ada seorangpun yang menyapa, atau melihat-lihat burung yang ia bawa.

Adzan asar tengah berkumandang tatkala ia masih berada di pos ronda. Suara adzan telah membangunkan lelaki itu dari istirahatnya. Masjid hanya berjarak beberapa puluhan meter dari tempatnya beristirahat. Ia berniat untuk sekaligus menunaikan kewajibannya pada-Nya. Dimasukkannya kembali air mineral kedalam plastik dan menaruhnya di sepeda bagian depan. Lelaki itu melepas topi yang ia pakai dan mengipas-kipaskan topi itu kewajahnya, sambil berkata pada dirinya sendiri – “sudah hampir sore, belum ada satupun burung yang terjual.” – lalu lelaki itu berusaha mengusap keringatnya lagi, lantas meneruskan langkah menuju pelataran masjid untuk menunaikan kewajiban Asharnya.

Selepas menunaikan kewajibannya, lelaki paruh baya itu duduk diserambi masjid, sambil memandangi burung-burung miliknya yang berada dalam sangkar.

“Berapa harga burung yang ini pak?” Tanya seseorang laki-laki bertopi merah yang tiba-tiba berada disamping sangkar-sangkar burung miliknya. Laki-laki itu menunjuk sangkar berwarna hijau.

Pertanyaan itu seolah memecahkan kristal-kristal keresahannya. Dengan cekatan, lelaki paruh baya itu menegakkan tubuhnya dan berjalan menghampiri laki-laki bertopi merah itu.

“Sing ten kandang ijo 35 ribu, Pak.” Jawab lelaki paruh baya itu. Masih dengan logat jawanya.

“25 ribu, boleh ya?”

Dereng angsal nek 25 ewu, pak – belum boleh kalau 25 ribu, pak.” Lelaki penjual burung itu melengkungkan senyum ramah. Sambil mencoba berpikir – “Nek 30 ewu angsal, Pak. Mang pundut mboten nopo-nopo. Manuke waras kok, Pak – Kalau 30 ribu boleh, Pak. Silahkan diambil tidak apa-apa. Burungnya sehat kok, Pak. ” Lelaki paruh baya itu berusaha meyakinkan laki-lai bertopi merah yang menawar harga burung itu.

“Ga boleh 25 ribu ya?” tanya orang itu lagi.

Lelaki penjual burung itu hanya tersenyum. “Dereng balik modal, pak.” Lagi-lagi lelaki tua itu tersenyum ramah. Sambil berusaha mengencangkan tali sangkar burung di sepeda tuanya.

“Ya sudah, saya beli burung yang ini.” Sambil menunjuk burung di sangkar berwarna hijau.

Kemudian lelaki penjual burung itu mengambil burung di sangkar warna hijau itu dan dimasukkan kedalam wadah. “Ini, saya wadahkan disini pak.” Kata lelaki paruh baya itu, mencoba menjawab menggunakan bahasa Indonesia setelah memasukkan burung itu ke bekas wadah semen yang sudah ia beri beberapa lubang kecil.

Pembeli burung itu menyodorkan uang lima puluh ribuan, “Ini uangnya.” Kata pembeli burung itu.

Lelaki penjual burung itu mencoba berpikir sejenak. “Alit mawon artone. Wonten, Pak? – kecil saja uangnya. Ada, Pak?” tanya penjual burung itu.

“Kembaliannya ambil saja.” Kata seorang pembeli burung itu.

Deg. Sejenak napas lelaki paruh baya itu tertahan. “Wah, tidak apa—apa ini pak? Terimakasih banyak, Pak. Semoga burungnya selalu sehat dan Bapak selalu diberi kemudahan rezeki, serta dimudahkan dalam setiap urusan...”

“Amin.” Pembeli burung itu tersenyum. Kemudian berpamitan dengan penjual burung itu.

“Alhamdulillah. Semoga rezeki ini bisa menjemput rezeki-rezeki lainnya.” kata penjual burung itu dalam hati.

Keringat adalah hasil. Jerih payahmu terbayar dengan semangat yang kau ambil. Terbang tinggi menuju awan, dimana kau bisa lupakan semua lawan.

Lelaki penjual burung itu kembali meneguhkan kayuhan-kayuhan sepeda tua miliknya. Ia bergegas menyusuri rezeki lain yang ia yakini akan ia bawa pulang untuk anak dan istrinya. Meski masih dengan keadaan lapar yang melilit perutnya, lelaki paruh baya itu masih kuat mengayuh sepeda miliknya.

Senja sebentar lagi akan mengepakkan sayapnya. Lelaki penjual burung itu tiba disebuah pasar di salah satu desa yang cukup jauh dari rumahnya. Disana ada beberapa pedagang keliling yang berkumpul; penjual sayur, penjual mie ayam, siomay, es rumput laut, bahkan mainan anak-anak. Ditempat inilah biasanya para pedagang keliling berkumpul.

“Sudah laku berapa burung, Pak?” Tanya penjual es rumput laut.

“Sekarang jualan burung keliling kalau hanya bawa burung kecil-kecilan susah.” Jawab lelaki penjual burung dibubuhi dengan sedikit tawa.

“Sama, Pak. Sekarang jualan mainan anak-anak juga susah. Mainan anak-anak sekarang bagus-bagus dan harganya mahal-mahal. Sedangkan saya hanya jualan mainan murah-murahan.” Keluh penjual mainan sambil menggeleng-gelenkan kepalanya.

Beberapa penjual keliling tertawa. Tawa mereka seolah melepaskan beban yang berada dipundak mereka. “Namanya juga pedagang keliling, Kek.” Sahut penjual es rumput laut yang sedang meracik semangkuk es rumput laut.

Buat apa menangis, jika masih ada senyum. Buat apa kau mundur, jika hidup berjalan maju. Bila kau terjatuh, segera bangkit dan bangun, pisatkan pikiran dan tetap melaju.

“Minum dulu, kek.” Sambil menyodorkan semangkuk es rumput laut pada lelaki penjual burung itu. “Pasti haus dan lapar. Sudah hampir jam 4 sore lebih kakek baru sampai sini. Biasanya ashar sudah sampai sini.” Imbuh pemuda penjual es rumput laut yang kira-kira lebih muda 40 tahun dari lelaki penjual burung itu.

Lelaki penjual burung itu tersenyum. Ia sudah tak dapat menahan haus, betapa segarnya es rumput laut itu jika membasahi mulutnya yang kering itu. “Wah, terimakasih, nak.” Ujar lelaki paruh baya itu sambil tersenyum.

Penjual es rumput laut itu ikut tersenyum. Ada senyum yang perlahan-lahan merambat dan melaju ke pusat syaraf miliknya – “Kakek adalah lelaki yang hebat. Setiap hari berkeliling menjual burung berpindah dari desa ke desa. Ia terus melangkah dan mengayuh sepeda hingga kepelosok-pelosok desa. Hingga terkadang menginap di pasar, dan terkadang baru pulang kerumah bertemu istri dan anaknya 3-5 hari sekali. Tergantung berapa burung yang sudah laku. Menjual burung dengan berkeliling barangkali adalah salah satu dari bermacam cara menjemput kebahagiaan-kebahagiaan hidupnya.” Kata penjual es rumput itu dalam hati.

Ada tetes air yang mengalir dari tebing kedua mata penjual es rumput laut itu. Melihat betapa lahapnya sang kakek menikmati es yang ia buat. Merasakan betapa hebatnya perjuangan dan kuatnya kakek itu. Masih berusaha menjemput rezeki miliknya walaupun kulitnya sudah mulai keriput, rambutnya banyak yang memutih, dan topi veteran sisa-sisa perjuangan kemerdekaan masih dipakainya dengan gagah.

Bagi orang lain, menjual burung dengan berkeliling dan berpindah dari satu desa ke desa lain memang tak pernah mudah. Tetapi, lelaki paruh baya itu melakukannya dengan dan bahkan tanpa ada rasa beban. Lelah, lapar, panas oleh sinar matahari, dan haus adalah teman sekaligus sahabat baiknya ketika ia memasuki usia senja.

Setiap langkah, setiap jiwa, di tiap langkah mulai bercerita wakilkan semua mimpi-mimpi yang tenggelam. Siap menantang bumi, dan kau adalah pemenang!

*

Malam itu, dipasar tempatnya tadi bercakap-cakap dengan para penjual keliling lainnya, lelaki penjual burung menghabiskan waktu hingga pagi tiba. Bersama beberapa pedagang sayur yang juga menginap dipelataran pasar sewaktu menunggu kiriman sayur dari pasar pusat. Ditemani suara kantong plastik beterbangan, dan suara jangkrik saling bersahutan. Lelaki itu sudah terbiasa untuk tak pulang jika sudah mengayuh sepeda puluhan kilometer. Ia menyadari bahwa untuk bisa pulang, membutuhkan waktu yang tak sebentar. Tersebab hal itulah, ia lebih memilih untuk menginap dipasar atau dipelataran masjid, dan kemudian esok melanjutkan perjalanan menjemput rezeki-rezeki dan berkah lain yang sudah disediakan untuknya.

Lelaki paruh baya itu tahu, hidup memang terkadang susah dan tak mudah. Tetapi, ia selalu percaya bahwa dibalik kesusahan dan perjuangan selalu ada kemudahan, pun kebahagiaan-kebahagiaan. Maka, tak heran lagi jika dia terus berusaha melangkah dan mengayuh sepeda tua miliknya – menjajakan burung-burung di sangkar yang berada sepeda tua miliknya – meski kulit keriputnya semakin melemah.

Ia tak mau dikalahkan oleh rasa ragu dan lemah. Ia tak mau mudah menyerah dan mengalah. Karena ia tahu bahwa ia punya tanggungjawab yang besar untuk istri dan anak yang ada dirumah. Ia tak mau mengecewakan, sekaligus membuat sedih orang-orang yang senantiasa membuatnya merasa berbahagia - istri, anak dan orang-orang yang selalu mendukungnya.

Dalam tidurnya malam itu disudut pelataran pasar, wajah lelaki itu terlihat berbahagia. Melengkungkan senyum tenang. Walaupun hari ini hanya terjual satu burung, tetapi rasa syukur atas nikmat yang sudah Tuhan berikan padanya membuat malamnya terasa sempurna. Karena ia tahu perjuangan masih belum selesai, masih ada hari esok yang menunggunya. Masih ada pengorbanan yang harus dan senantiasa ia lakukan untuk menjemput kebahagiaan-kebahagiaan yang Tuhan sediakan...

...Bangunkan bangkitkan semangat juangmu hingga membara. Yakinkan pastikan inilah puncak segalanya. Jangan menyerah... jangan mengalah... berbanggalah... karena kau adalah... Sang Juara!


----------------------------------------------------------------


*backsounds : Bondan & Fade2Black - Sang Juara
*foto diambil dari salah satu grub "jual beli burung disolorya oleh mas Gingsol Cuakep"

0 Response to "Sang Juara"

Post a Comment