Aku Memilih Setia


..Sebuah perjalanan, seperti apapun itu dan bagaimanapun bentuknya, ia tetap akan memberi kita sebuah pembelajaran ~

*

Malam itu hujan turun sangat deras. Kita berdua memutuskan untuk berhenti dan makan malam di salah satu restoran didekat stasiun, disamping kiri pintu masuk menuju stasiun.

“Duduk di sana, Cha.” Katamu waktu itu. Sambil menarik tanganku menuju ke meja yang telah dibersihkan oleh kedua petugas restoran. Aku merasakan genggaman tanganmu yang lembut, menggantikan bekas air hujan yang telah dan tengah membasahi tangan. Hangat.

“Baju kamu agak basah.” Kau melihat beberapa tetes air hujan yang masih menempel di bajuku. Kau tersenyum kearahku.

Aku tersenyum kearahmu. Mengangkat kedua bahuku menandakan tak ada yang perlu dikhawatirkan. “Gapapa.” Jawabku.

Kau tersenyum. Senyum kita saling bertemu.

“Hmm, mau makan apa, Cha ?” Katamu, sesaat setelah petugas restoran menyodorkan buku daftar makanan untuk kita.

“Enaknya makan apa?” Tanyaku balik. Melirikmu dan aku berusaha mengangkat alis kananku keatas.

Kau tertawa kecil.

Aku masih melihat lihat beberapa macam menu yang ada di daftar makanan. “Udang Asam Manis Pedas aja deh. Keliatannya cocok deh untuk santapan malam ini, apalagi nyantapnya bareng sama kamu.” Kataku, dengan nada sedikit menggoda.

"Huuu.." Tandasmu.

Aku tertawa kecil. “Kau mau makan apa, Vid?” Aku mengembalikan pertanyaan yang sama yang kau berikan padaku. Kau masih sibuk mencari dan memilah menu yang ada.

“Udang Tepung Saus Mayonaise deh. Sekalian tulisin ya?” Jawabmu. Nyengir.

Aku memasang muka heran.

“Es Lemon Tea satu, sama Tahu Pack sekalian, ya, Cha?” Pintamu.

Aku sedikit memasamkan muka.

“Cantik deh, kalau cemberut dan sewot kayak gitu.” Kau mencoba menggodaku. “Kau sendiri minum apa, Cha?” Tanyamu.

“Udah aku tulis kok, Orange Juice spesial buatan David.” Jawabku.

Kau tertawa.

“Ihh, kenapa sih? Engga boleh yaa?” Kataku sewot.

Tiba tiba kami berdua spontan melepaskan tawa bahagia.

Aku menghela nafas. Menaruh bolpoin yang aku gunakan untuk menulis pesanan. Kemudian membetulkan posisi kacamataku.

Dari sisi kananku, pelayan restoran yang mengenakan seragam berwarna cokelat dikombinasi dengan warna putih menghampiri kami berdua. Kemudian mengambil daftar menu dan daftar pesanan yang kami pesan.

“Mohon ditunggu sebentar ya.” Kata pelayan restoran itu. Ramah, dan sopan.

Kami berdua mengangguk setuju.

*

Aku menyandarkan tubuhku pada sandaran kursi. Berusaha menghela nafas, memecahkan kristal kristal yang agak membekukan pikiran.

Salah satu hal yang aku suka adalah menikmati hujan. Ya, entah kenapa, setiap kali bumi menurunkan hujan, selalu ada sesuatu hal yang membuatku merasa tenang. Kali ini tak hanya hujan yang membuatku merasa tenang. Tetapi, ada David dihadapanku yang entah mengapa disetiap aku bersamanya, aku selalu merasa tenang. Kekosonganku hilang. Aku merasa menemukan sesosok Rakka didepanku.

Ya, Rakka, dia adalah seorang yang entah mengapa dengan senyum dan tingkah konyolnya, bisa selalu membuatku untuk betah bersamanya. Aku suka saat dia memberi perhatian. Aku suka saat dia memberiku kado spesial di hari ulang tahunku. Dia selalu mengkhawatirkan aku, bahkan melebihi menghkawatirkan dirinya sendiri. Aku menganggap dia sudah seperti kakakku sendiri. Dan dia pun menganggapku sudah seperti adiknya sendiri. Tetapi sebenarnya hubungan kami lebih dari itu : Rakka adalah pacarku.

Kini, sudah hampir 8 bulan berlalu sejak Rakka meninggalkan kota kami dan memutuskan melanjutkan study-nya di Bandung. Aku masih ingat betul saat terakhir bersama dengan Rakka. Pipiku terbasahi air mata ketika melihatnya membawa satu koper besar yang mungkin berisi pakaian dan peralatan Rakka, dan satu tas kecil yang berisi bekal makanan untuk perjalanan memasuki salah satu gerbong kereta. Hanya ada lambaian tangan dan salam perpisahan ketika kereta api yang ditumpangi Rakka membunyikan tanda pemberangkatan. Aku menatap raut muka yang terlihat layu perlahan lahan meninggalkan stasiun kereta.

Kereta yang ditumpangi Rakka perlahan menjauhi stasiun. Pelan pelan aku memejamkan mata, dan berdoa : semoga kau senantiasa baik baik saja, dan tetap dalam lindungan-Nya.

Sejak saat itu, aku dan Rakka hanya bisa saling mengirim pesan dan juga telefon. Aku dan Rakka juga sering saling tatap, melalui layar laptop. Kami menggunakan kecanggihan beberapa fitur dan program program yang berada di laptop untuk saling berkomunikasi. Webcam-an, Itu adalah salah satu caraku melepas kerinduan yang meradang dan menggerogoti perasaan, terutama pada Rakka.  

*

Hujan sudah mulai mereda, dan tetapi malam tidak semakin berbaik hati. Ia justru semakin membekukan suasana. Dingin. Menembus kulit.

Perlahan kau meraih lipatan tanganku yang berada diatas meja. Pelan pelan kau menggenggam erat tanganku.

“Dingin, Cha?” Tanyamu.

Aku menyimpulkan senyum. Mengangguk setuju. memandang rambutmu yang masih saja tertata rapi. Aku hanya menatap kedua tanganku. Sejenak aku memandangimu. Lalu, mata kita saling tatap. Perlahan wajahmu mendekat. Kau membisikan sesuatu tepat didepan telinga kananku. Pelan.

Suara gerimis masih terdengar dari tempat kami duduk. Beberapa pelayan restoran masih sibuk melayani dan menyajikan makanan yang dipesan pembeli.

Kata katamu melepas lamunan. Aku terhantam. Tertunduk lesu mendengar ucapan itu. Seketika hening.

Ada banyak cara Tuhan menghadirkan cinta
Mungkin engkau adalah salah satunya
Namun engkau datang disaat yang tidak tepat
Cintaku tlah dimiliki

Sejujurnya, semakin aku mengenalmu, aku semakin mendapati sesuatu yang lain dari dirimu. Sejak kita semakin dekat, semakin hilang pula kekosongan dalam hati kecilku : aku kini merasa kembali menemukan sosok laki laki yang sanggup menutupi kekosongan jiwaku – melengkapi dan bahkan menyempurnakan laju hidupku. Seperti Rakka.

Sesekali angin dari luar yang tak berpandang jalan berhembus kencang menerobos hingga kedalam ruangan. Dingin. Kau tersenyum kecil. “Cuma mau bilang itu kok, Cha. Jangan marah yaa.” Kau melengkungkan senyum yang gugup – malu malu.

Aku tak bisa berkata apa apa sesaat setelah kau menyatakan perasaanmu padaku. Sejujurnya aku tak bisa membohongi perasaanku sendiri bahwa aku pelan pelan terbiasa denganmu. Aku bahagia saat bisa bersamamu, saat kita bisa saling mengisi kekosongan hati.

Perlahan aku mencoba melepaskan genggaman yang menghangatkan, juga menyakitkan perasaan itu. Kemudian kembali menyandarkan tubuhku pada sandaran kursi. Aku menghela nafas panjang. Barangkali memang benar : Kau adalah seorang pelangkap yang paling tepat, diwaktu yang paling salah!

Maafkanlah diriku tak bisa bersamamu
Walau besar dan tulusnya rasa cintamu
Takkan mungkin untuk membagi cinta tulusmu
Dan aku memilih setia

*

Selama ini, percakapan kita tak pernah seasing ini. Percakapan kita selalu baik baik dan tak bermasalah. Tetapi, kini, aku benar benar canggung dan tak sanggup menutupi kegusaran agar bisa mencairkan suasana seperti biasanya. Aku berusaha memandangi matamu yang teduh dan meredup.

Kau masih memainkan jari jari tanganmu. Mengetuk-ngetuk meja dengan jari manis, jari tengah, dan jari telunjuk secara bergantian - bersahut sahutan. Aku perlahan menatapmu. Tiba tiba kau tersenyum kearahku. Aku merasakan lengkung lesung pipitmu yang lucu melemah.

Suasana di restoran semakin lenggang. Hanya tinggal beberapa pengunjung restoran, termasuk kami berdua. Ada yang masih sibuk bermain dengan gadget mereka. Ada pula yang masih menikmati makanan yang mereka pesan yang baru saja dihidangkan. Direstoran ini, setiap kali makanan datang, bau khas makanan selalu memenuhi ruangan.

Setelah selesai makan, dan mengobrol banyak, kami akhirnya memutuskan untuk pulang.

Semakin malam, suasana semakin mencekam. Dingin semakin menggerogoti sendi dan tulang. Menembus baju hangat yang sudah aku kenakan.

Jalanan terlihat lenggang. Tak banyak mobil dan motor yang berlalu lalang. Terlihat kantong plastik terbang jauh keudara. Kencang. Terhembus oleh angin malam tanpa perasaan.

Seribu kali logikaku untuk menolak
Tapi ku tak bisa bohongi hati kecilku
Bila saja diriku ini masih sendiri
Pasti ku kan memilih...kan memilih mu...

Bila akhirnya harus ku akhiri
Sebelum cintamu semakin dalam
Maafkan diriku memilih setia
Walaupun ku tahu cintamu...
Walaupun ku tahu cintamu lebih besar darinya

David, sejujurnya aku ingin tetap menjadi sebuah lilin kecil yang selalu memberimu cahaya : menghangatkan, dan membuatmu merasa tenang. Tetapi, mungkin Tuhan punya tujuan tertentu saat mengirimmu kedalam hidupku pun mengirimku masuk kedalam hidupmu : bukan sebagai pelengkap kekosongan, tetapi sebagai episode pembelajaran.

*

Sejak makan malam itu, kita berdua sudah tak pernah bertemu lagi. Aku tak pernah mengetahui banyak kabar tentang David, dan David pun juga demikian -  tak pernah sedikitpun tau kabar mengenaiku.

Apa kabar kamu sekarang? Sudah berapa lama kita tak bertegur sapa? Sudah berapa lama kita tak saling bertukar tawa? Masihkah kau mengenaliku, Lelaki Lesung Pipit?

Aku harap kau tetap baik baik saja, entah dimanapun kau berada. Doaku tak pernah putus untuk kebahagiaan kebahagiaanmu. Aku yakin, kelak kau akan menemukan seorang yang tepat – sebagai jawaban dari kekosongan kekosongan.

..Terimakasih telah menjadi sayap kiri, yang selalu membuat dan membantuku merangkai mimpi mimpi, pun mengisi kekosongan hati.


*Backsound : Fatin Shidqia - Aku Memilih Setia

0 Response to "Aku Memilih Setia"

Post a Comment